Mengintip Isi Draf RUU Otsus Plus Papua (Bagian 4)
Oleh: Oktovianus Pogau/SULPA
Draf keduabelas RUU Otsus Plus yang
diparipurnakan pada 20 Januari 2014 di Dewan Perwakilan Rakyat Papua
(DPRP) Jayapura, sebelum diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) di Jakarta pada 9 Februari 2014, tercantum sebuah pasal
yang mengatur soal referendum.
Timotius Murib, Ketua Majelis
Rakyat Papua (MRP) mengaku memang pasal tersebut ada, dan sengaja
dimasukan untuk mewanti-wanti jika pemerintah pusat di Jakarta menolak
draf RUU Otsus Plus yang diajukan pemerintah Provinsi Papua dan Papua
Barat.
“Apabila Undang-Undang ini tidak
dapat dilaksanakan oleh pemerintah secara konsisten dan konsekuen, serta
tidak membawa manfaat yang signifikan bagi upaya-upaya peningkatan
taraf hidup, derajat hidup, kesejahteraan orang asli Papua, atas
prakarsa Majelis Rakyat Papua dapat diselenggarakan referendum, yang
melibatkan orang asli Papua di Tanah Papua untuk menentukan nasibnya
sendiri,” demikian bunyi pasal 299 di draf keduabelas yang dimaksudkan
Murib.
Menurut Ketua MRP, pasal tersebut
merupakan usulan rakyat Papua saat berlangsung evaluasi Otsus versi
orang asli Papua pada 24 – 27 Juli 2013 di Jayapura, Papua.
Pertanyaannya, apakah ada peserta dari tujuh wilayah ada di tanah Papua
yang mengusulkan diselenggarakan referendum jika Otsus Plus ditolak
Jakarta?
Setahu saya, tidak pernah ada
rekomendasi seperti itu. Yang ada hanya dua rekomendasi lain, pertama,
membuka ruang untuk dialog antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat
yang dimediasi oleh pihak netral dan dilaksanakan ditempat yang netral;
dan kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua tidak boleh diamandemen sebelum melakukan Dialog
Jakarta-Papua sebagaimana disebutkan pada point (1) rekomendasi ini.
Dalam hal ini, Ketua MRP bisa
dikatakan telah melakukan pembohongan public; juga bisa saya katakan,
Ketua MRP sebenarnya sedang mengadaikan isu referendum untuk meloloskan
kepentingan para elit birokrasi, terutama demi kepentingan diloloskannya
RUU Otsus Plus.
Gubernur Papua, Lukas Enembe juga
mengatakan jika draf Otsus Plus ditolak pemerintah pusat di Jakarta,
artinya memberikan kesempatan dilakukannya referendum untuk menentukan
nasib sendiri (self determination) bagi orang asli Papua.
“Mau tidak mau, semua pasal
diterima kalau ini (pasal 299) mau dicabut. Ini pasal bargening,” tegas
Gubernur Papua kepada wartawan di Jayapura.
Gubernur Papua juga mengakui draft
yang akan diajukan ini nantinya akan mendapat supervisi dari pihak
Kementerian Dalam Negeri, namun ia memastikan dalam upaya meloloskan
seluruh draft Otsus Plus, pihaknya untuk sementara akan berkantor di
Jakarta hingga Undang-Undang Otsus Plus disahkan oleh DPR RI.
Penulis sendiri, bukan orang yang
anti pada referendum, tapi tidak setuju jika kata referendum dipakai
sebagai nilai tawar pejabat-pejabat di tanah Papua untuk kepentingan
uang, kekuasaan, dan jabatan. Ini sama sekali tidak bisa dibenarkan!
Harus diketahui, ada banyak orang Papua yang gugur karena berteriak
Papua Merdeka dan referendum. Sebut saja Theys Elluay, Dr. Tom Wanggai,
Jhon Mambor, Mako Tabuni, Hubert Mabel, dan masih banyak lagi yang akan
menjadi korban dikemudian hari.
Papua Barat “Marah” Ada Pasal Referendum
Gubernur Papua Barat, Abraham
Octavianus Ataruri jelas marah besar mendengar ada pasal 299 yang
mengatur soal referendum bagi orang asli Papua. Kepada media massa, Bram
mengatakan telah langsung mengirimkan surat kepada Presiden SBY melalui
Mendagri perihal penolakan pasal tersebut.
“Ini yang tidak bisa dimengerti,
belum apa-apa sudah mengancam untuk meminta referendum. Keberadaan RUU
ini tidak boleh mengancam NKRI. Terlebih dahulu RUU ini perlu diberi
pembobotan oleh pemerintah Provinsi Papua Barat. Saya perlu sampaikan,
bahwa Papua bagian sah dari NKRI. Kalau ada yang lain, itu urusan
Tuhan,” tandas Bram.
Wakil Ketua I DPR Papua Barat,
Jimy Idjie juga mengaku mengatakan NKRI tidak boleh diancam dengan
pasal-pasal yang seperti itu, apalagi Papua masih berada dalam wilayah
Indonesia.
“Pasal 299 tersebut adalah pasal
pertama yang akan dihapus oleh pemerintah atau Kementerian Dalam Negeri
ketika memberikan supervisi,” katanya.
Di sisi lain, Jimmy mengakui,
memang keberadaan Pasal 299 tersebut ada baiknya untuk memastikan
Pemerintah Pusat benar-benar menjalankan secara konsisten setiap sisi
dari peraturan tersebut.
“Tapi kita harus menyadari bahwa
kegagalan UU Otsus sebelumnya, tidak sepenuhnya disebabkan oleh
Pemerintah Pusat. Justru faktor terbesar adalah orang-orang yang
menjalankan dan menerima manfaat dari Otsus. Kita juga berkontribusi
yang sangat besar dalam kegagalan UU Nomor 21 Tahun 2001,”ujarnya
singkat.
Namun, secara garis besar Jimmy mendukung RUU Otsus Plus karena bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada di Papua.
“Rancangan ini ditujukan untuk
memperjuangkan persamaan hak orang Papua sebagai kelompok minoritas
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk dihormati hak-hak sipil,
politik, ekonomi, sosial, dan budaya,” katanya.
Agus Sumule, salah satu tim
asistensi RUU Otsus Plus dari Papua Barat menyatakan tak perlu ada
pejabat yang menggunakan pasal referendum sebagai nilai tawar ke
pemerintah pusat, sebab yang berhak menuntut referendum adalah gerakan
sipil dan politik di tanah Papua yang menginginkan kemerdekaan Papua.
Yang dikatakan oleh Sumule ada
benarnya. Sebab, yang selama ini menuntut kemerdekaan Papua melalui
referendum, atau cara-cara bermartabat lainnya adalah gerakan sipil dan
politik seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Front PEPERA,
Garda-P, Negara Federasi Papua, dan TPN-OPM, dan masih banyak lagi.
Tanggapan Gerakan Pro-Kemerdekaan
KNPB yang selama ini lantang
“berteriak” referendum jelas terganggu dengan pernyataan Ketua MRP
maupun Gubernur Papua terkait pasal 299. Ketua I KNPB, Agus Kossay
mengaku tertawa geli mendengar referendum dijadikan nilai tawar Gubernur
Papua dan Ketua MRP kepada pemerintah pusat di Jakarta agar RUU Otsus
Plus diloloskan.
“Kami minta kepada Pemerintah
Pusat, untuk jangan serta merta menerima tawaran yang disampaikan oleh
Gubernur Lukas Enembe. Kami KNPB atas nama rakyat Papua Barat meminta
kepada para pejabat di Provinsi Papua bahwa jika minta sesuatu ke
Jakarta, jangan lagi memboncengi dengan isu Papua Merdeka atau
referendum,” tegas Kossay.
Kossay mengatakan, isu referendum bukan tempat atau lahan untuk mencari makan dan minum, serta untuk mencari jabatan.
“Karena referendum itu sama saja
dengan perjuangan Papua Merdeka untuk memisahkan diri dari Negera
Indonesia, melalui forum resmi internasional. Ini yang harus diketahui
oleh gubernur dan MRP bersama jajarannya,” tegas Kossay kepada wartawan
di Jayapura, menanggapi pasal 299 yang ramai dibicarakan.
Banyak aktivis dan mahasiswa di
media social, baik melalui twitter maupun Facebook yang ramai
membicarakan inisiatif “konyol” MRP dan pemerintah provinsi Papua yang
memasukan pasal referendum di dalam RUU Otsus Plus.
“Jangankan untuk meloloskan RUU
Otsus Plus, soal pemekaran sebuah wilayah di Papua saja, para pejabat
selalu memakai kata OPM, Referendum, dan Papua Merdeka. Ini memang watak
yang sangat bobrok dari pejabat-pejabat Papua,” tulis Wanimbo melalui
laman Facebooknya.
Anton Tabuni, selaku Sekjend
Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM)
menuturkan pihaknya tak pernah berdialog dengan Pemerintah Indonesia
tentang Otsus Plus.
“Kami hanya minta merdeka. Para
pejabat Gubernur, Ketua DPR, MRP, jangan mengatasnamakan TPN-OPM,
terutama Panglima TPN-OPM Goliat Tabuni, dalam meminta persetujuan Draft
Otsus Plus atau Draft RUU Pemerintahan Otsus. Itu bukan pilihan kami.
Kami berjuang dengan berbagai penderitaan selama 50 tahun untuk merdeka
diatas tanahnya sendiri,” tegasnya kepada media Suara Pembaharuan,
ketika diminta tanggapannya.
“Itu bukan aspirasi kami. Jadi
hati-hati. TPN-OPM tidak akan mundur selangkah pun untuk memperjuangan
kemerdekaan kami,” katanya lagi.
Pikir Ketua MRP beserta anggota,
juga Gubernur Papua adalah apabila ada pasal yang mengatur soal
referendum, maka akan mendapat simpati public di tanah Papua, kenyataan
tidak demikiaan, mereka semakin ditertawakan karena berusaha gadaikan
sebuah ideology dengan kepentingan sesaat.
Seorang sumber yang hadir dalam
pertemuaan dengan Presiden SBY, pada 9 Februari 2014 di Istana Cikeas,
Bogor, menuturkan sebelum pertemuaan dilangsungkan, pasal 299 yang
mengatur soal referendum telah dihapus.
“Jadi, draf yang diserahkan kepada
Presiden SBY adalah draf ketigabelas, bukan draf keduabelas seperti
yang pernah diparipurnakan di Jayapura oleh DPRP. Dan pasal yang
membahas referendum sudah dihapus,” ujar sumber ini.
Sudah jelas motivasinya bukan?
Mengancam Jakarta agar draf RUU Otsus Plus diterima; juga dengan hadir
pasal tersebut agar mendapat dukungan public! Tapi sayang beribu sayang,
public sama sekali tidak memberikan dukungan, justru mengecam cara-cara
bobrok tersebut.
Penyempurnaan Draf di Jakarta
Telah disebutkan pada tulisan
bagianketiga, pada draf ketigabelas RUU Otsus Plus yang diserahkan
kepada Presiden SBY di Jakarta, tak terdapat tanda tangan persetujuaan
dari Gubernur Papua Barat. Mendagri yang hadir pada pertemuaan juga pada
pertemuaan tersebut diminta untuk memediasi “kisruh” yang terjadi
antara dua Gubernur asal tanah Papua ini.
Kementerian Dalam Negeri melalui
Dirjen Otonomi Daerah bekerja cepat. Pada 11 Februari 2014, tim
asistensi kedua Provinsi diundang secara resmi untuk membahas draf
tersebut. Dalam undangan, pertemuaan akan dilakukan pukul 11.00 Wib,
namun dipercepat ke pukul 09.00 Wib di Kantor Dirjend Otda.
Dirjend Otda yang diwakili oleh
Direktorat Penataan daerah, otonomi Khusus dan dewan Pertimbangan
otonomi Daerah membuka pertemuaan, sekaligus memberikan kesempatan
kepada kedua tim asistensi untuk memaparkan pandangan, sekaligus teknis
untuk mensinkronkan kedua draf tersebut.
Utusan Papua Barat diwakili
Sekertaris Daerah Isak Halatu dan Kordinator Tim Kerja Agus Sumule.
Halatu menyatakan bahwa ia hanya membawa satu pesan dari Gubernur Papua
Barat, yakni, kedua tim asistensi diminta untuk kembali ke tanah Papua,
dan mensinkronkan dua draf yang belum disinkronkan.
“Karena banyak pembobotan yang
diberikan tim asistensi Papua Barat, namun belum diakomodir dalam draf
ketigabelas. Kita bertemu di Jayapura, di Manokwari, atau di Biak adalah
lebih baik, agar public juga mengetahui secara pasti,” tegas Halatu.
Mendengar sebuah usulan yang
dianggap sebagai langkah mundur, salah satu tim asistensi dari Papua,
Sendius Wonda menimpali Sekda Papua Barat.
“Kami telah memberikan waktu satu
minggu kepada tim dari Papua Barat untuk mengerjakan draf tersebut,
namun saat saya ke Manokwari, belum juga dibuat, dan apa yang diusulkan
teman-teman dari Papua Barat dalam draf lalu, juga telah diakomodir,”
kata Wonda.
Boy Dawir, salah satu anggota DPRP
dari Partai Demokrat mengatakan bahwa adalah sebuah langkah yang mundur
jika kembali dilakukan pembahasan di Papua.
“Kami orang Papua itu pantang
untuk pulang sebelum dapat hasil,” kata Dawir membungkus maksudnya yang
kalau diartikan ingin mengatakan jika sebelum draf RUU Otsus Plus
disetujui Jakarta, maka tim tidak akan pernah pulang, dan sekaligus
menolak usulan dari Papua Barat.
Yang lebih radikal lagi tanggapan
Nason Uti, salah anggota DPRP yang juga dari Partai Demokrat. “Kami
semua yang ada di dalam ruangan ini NKRI. Tapi kami tidak tau dengan
orang-orang di Papua. Jika kami pulang dan RUU Otsus Plus belum
disahkan, siapa yang mau tanggung jawab. Kami tidak akan tanggung
jawab,” tegas Uti seraya mengancam.
Karena itu, Uti meminta agar
pembahasan tetap dilanjutkan di Jakarta dan tidak kembali ke tanah
Papua, karena hal tersebut merupakan sebuah langka mundur dari tim
asistensi yang telah bekerja cukup lama.
Ketua MRP, TImotius Murib lebih
parah lagi. Dengan nada mengancam mengatakan bahwa ia tidak akan keluar
dari ruangan jika belum diagendakan waktu pertemuaan untuk membahas RUU
Otsus Plus yang telah sampai di Jakarta.
“Kalian dua ini bukan orang asli
Papua, kalian hanya datang dan cari makan di Papua. Orang di Papua
minta referendum dan merdeka, kami ini yang berusaha setengah mati
menahan mereka. Kalian dua mau tanggung jawab jika mereka minta
merdeka,” kata Murib membentak, seraya menunjuk dua orang utusan dari
Papua Barat yang kebetulan bukan orang asli Papua.
Timotius Murib lupa, atau memang
tidak tahu kalau Agus Sumule lahir dan dibesarkan di Enarotali, Paniai,
bersama masyarakat istrinya, yakni masyarakat Mee. Orang tua Sumule
(Alm) telah berada di Enarotali sejak tahun 1964, dan merupakan Guru
pertama Sekolah Guru Bawah (SGB) yang telah mendidik banyak guru-guru
asli orang Papua.
Para murid dari orang tua Sumule
ini yang membuka YPPGI, dan sekolah-sekolah lainnya di tanah Papua,
hingga ke Selatan Papua di Merauke.
Halatu juga lahir dan besar di
Wamena. Orang tuanya merupakan penginjil yang telah ada di Wamena sejak
tahun 1960an. Orang tua Sumule dan Halatu berada di tanah Papua sebelum
Timotius Murib melihat dunia. Jadi, adalah tidak etis, seorang Timotius
Murib berkomentar demikian.
Agus Sumule ketika dimintai
tanggapan terkait nada rasialis Ketua MRP mengaku tidak menyangkan
seorang ketua MRP, yang merupakan jabatan representative dari unsure
Agama, Perempuan dan Adat bisa berbicara demikian.
“Saya pribadi jika dipanggil
bukan orang asli Papua, dikritik, dan dimarah, biasa-biasa saja, tapi
jika mengatakan saya datang cari makan di Papua, hal itu tidak bisa saya
terima, karena merupakan penghinaan, dan meruntuhkan martabat dan
wibawa keluarga saya,” komentar Sumule singkat kepada media ini.
Dalam pertemuaan tersebut,
nampaknya utusan dari Papua tetap memaksakan agar pembahasan tetap
dilakukan di Jakarta, dan dianggap melanggar perintah presiden jika
Kemendagri meminta kembali di bahas di Papua.
Ancaman referendum dan Papua
Merdeka juga terus dipakai oleh tim asistensi Papua, tujuannya agar
proses pengesahan RUU Otsus Plus bisa segera dilakukan.
Karena komentar rasis Ketua MRP
yang dianggap berlebihan dan tidak perlu, membuat pertemuaan harus
ditunda ke lain waktu. Kemendagri berjanji akan mengeluarkan undangan
untuk pertemuaan berikut.
Sementara itu, Sekda Papua Barat
menghubungi tim asistensi dari Papua Barat yang terdiri Yan Christian
Warinussy, Simon Banundi, Abner Wabdaron, serta dua orang lainnya untuk
datang ke Jakarta agar bisa bergabung bersama dirinya dan Agus Sumule
yang telah lebih dulu berada di Jakarta.
Sore hari, tanggal 12 Januari
2014, tim asistensi dari Papua Barat tiba di Jakarta, dan selanjutnya
pada malam hari dilangsungkan pertemuaan di Hotel Aliya, Bilangan,
Jakarta. Di tempat ini, pembobotan yang dimaksud dan diinginkan oleh tim
asistensi dari Papua Barat diakomodir, walaupun banyak yang tak sesuai
dengan harapan dan keinginan.
Selanjutnya, dilakukan pertemuaan
ulang pada tanggal 13, 14, dan 15 di Hotel Lumire, Senen, Jakarta Pusat.
Dalam pertemuaan-pertemuaan tersebut, tim Asistensi Papua Barat
memberikan pembobotan agar RUU Otsus Plus semakin berkualitas, dan
memberikan manfaat langsung kepada public di tanah Papua. Pada tanggal
15 Febaruari 2014, hasil akhir draf tersebut siap ditandatangani oleh
kedua Gubernur.
Apa saja isi draf keempatbelas RUU
Otsus Plus? Dan topic-topik apa saja yang menjadi perdebatan kedua tim
asistensi? Nantikan pembahasan pada tulisan bagiaan kelima. Termasuk apa
dan siapa orang asli Papua versi draf akhir tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar